PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
Budaya jawa sebagai
sumber pendidikan karakter tidak perlu diragukan lagi keberadaannya, karena
dalam budaya jawa syarat akan pendidikan nilai yang merupakan substansi utama
dari pendidikan karakter. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam budaya
jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan,
konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa,
toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat,
tahu berterima kasih, dan lainnya. Pendidikan karakter yang digali dari
substansi budaya jawa dapat menjadi pilar pendidikan budi pekerti bangsa.
Pendidikan
karakter sebagai pilar pendidikan budi pekerti bangsa, dewasa ini menjadi
sangat penting, karena pendidikan karakter sangat menentukan kemajuan peradaban
bangsa, yang tak hanya unggul, tetapi juga bangsa yang cerdas. Keunggulan suatu
bangsa terletak pada pemikiran dan karakter. Kedua jenis keunggulan tersebut
dapat dibangun dan dikembangkan melalui pendidikan.Oleh karena itu, sasaran
pendidikan bukan hanya kepintaran dan kecerdasan (pemikiran), tetapi juga moral
dan budi pekerti, watak, nilai, dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia
(karakter). Dengan kata lain, antara pemikiran dan karakter harus menjadi
kesatuan yang utuh.
Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang
digali dari sumber budaya jawadapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui
pembelajaran budaya jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses meaning
making (membuat bermakna), sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai
dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara
memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai kultural bahasa
dan sastra Jawa.
b.
Rumusan
Masalah
1. Mengapa
menggunakan budaya jawa dalam mengembangkan pendidikan berbasis karakter?
2. Apa
isi pendidikan karakter yang bermuatan nilai kearifan lokal budaya Jawa?
3. Bagaimana
pengajaran pendidikan karakter berbasis nilai kearifan lokal yang bersumber
dari budaya Jawa?
c.
Tujuan
1. Menggali
nilai-nilai budaya jawa yang masih relevan pada masa sekarang untuk dijadikan
acuan dalam mengembangkan pendidikan karakter berbasis nilai Budaya Jawa.
2. Acuan
bahan ajar kepada para siswa dalam mengembangkan karakter peserta didik yang
sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia.
3. Menjaga
dan melestarikan buday Jawa yang pada masa modern tergeser oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan tehnologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Karakter
a. Pengertian
Karakter
Secara
etimologis, kata karakter berasal dari bahasa lattin kharakter, kharassein,
dan kharax yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini dimulai banyak digunakan pada abad ke-14
dalam bahasa Perancis caractere,
kemudian masuk dalam bahasa inggris menjadi character
dan akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter.[1]
Karakter
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Menurut
Wayne, istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai). Istilah ini lebih
fokus pada tindakan atau tingkah laku.Menurutnya ada dua pengertian tentang
karakter. Pertama, menunjuk pada
bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila berperilaku tidak jujur, kejam
tentu orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila
seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentu orang tersebut
memanifestasikan karakter mulia. Kedua,
istilah karakter erat kaitannya dengan personaliti.Seseorang baru bisa disebut
orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.[2]
Dalam
hal ini karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-nilai
kebaikan dalam bentuk tingkah laku.Walaupun istilah karakter dapat menunjuk
kepada karakter baik atau karakter buruk, namun dalam aplikasinya orang
dikatakan berkarakter jika mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam
perilakunya.
b. Ruang
Lingkup Nilai dalam Pendidikan Karakter/ Budi Pekerti
Menjelaskan
ruang lingkup pembahasan nilai pendidikan budi pekerti yang bersumber pada
etika dan moral menekankan unsur utama kepribadian, yaitu kesadaran dan
berperannya hati nurani dan kebajikan bagi kehidupan yang baik berdasarkan
sistem dan hukum nilai-nilai moral masyarakat.Hati nurani adalah kesadaran
untuk mengendalkan atau mengarahkan perilaku seseorang dalam hal-hal yang baik
dan mengindari tindakan yang buruk.[3]
Dengan
demikian terdapat hubungan antara budi pekerti dengan nilai-nilai moral dan
norma hidup yang unsur-unsurnya merupakan ruang lingkup dari pembahasan budi
pekerti. Unsur-unsur budi pekerti antara lain, yaitu: hati nurani, kebajikan,
kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, kesopanan, kerapian, keikhlasan,
kebijakan, pengendalian diri, keberanian, bersahabat, kesetiaan, kehormatan dan
keadilan.[4]
Menurut
Ratna Megawangi, sembilan pilar karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada
anak, yaitu:[5]
a)
Cinta Tuhan dan kebenaran (love
Allah, trust, reverence, loyalty)
b)
Tanggungjawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
c)
Amanah (trustworthiness,
reliability, honesty)
d)
Hormat dan santun (respect,
courtesy, obedience)
e)
Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, emphaty, generousity, moderation, cooperation)
f)
Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage,
determination and enthusiasim)
g)
Keadilan dan kepemimpinan (justice,
fairness, mercy, leadership)
h)
Baik dan rendah hati (kindness,
friendliness, humility, modesty)
i)
Toleransi dan cinta damai (tolerance,
flexibility, peacefulness, unity)
Kesembilan karakter di atas
harus ditanamkan sedini mungkin, dengan harapan kelak anak menjadi orang yang
berguna bagi sesama, tangguh dan berjiwa kuat dalam menghadapi tantangan di
masa yang akan datang.
Menurut
Thomas Lickona, ada tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yang harus terintegrasi dalam
pembentukan karakter, yaitu:[6]
a)
Knowing the good (moral
knowing), artinya anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan yang
harus diambil dan mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Membentuk
karakter anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka
juga harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut.
b)
Feelling the good (moral
feeling), artinya anak mempunyai kecintaan terhadap kebajikan dan membenci
perbuatan buruk. Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk
melakukan perbuatan baik. Pada tahap ini, anak dilatih untuk merasakan efek
dari perbuatan baik yang dilakukannya. Sehingga jika kecintaan ini sudah
tertanam, maka akan menjadi kekuatan yang luar basa dari dalam diri anak untuk
melakukan kebaikan dan “mengerem” atau meningalkan perbuatan negatif.
c)
Acting the good (moral action),
artinya anak mampu melakukan kebajikan dan terbiasa melakukannya. Pada tahap
ini anak dilatih untuk melakukan perbuatan baik, sebab tanpa melakukan sesuatu
yang sudah diketahui atau dirasakan tidak akan ada artinya.
Tugas
pendidikan karakter selain mengajarkan mana nilai-nilai kebaikan dan mana nilai-nilai
keburukan, yang justru ditekankan adalah langkah-langkah penanaman kebiasaan
(habituation) terhadap hal-hal yang baik. Hasilnya, individu diharapkan
mempunyai pemahaman tentang nilai-nilai kebaikan dan nilai keburukan, mampu
merasakan nilai-nilai yang baik, dan mau melakukannya.
B. Pendidikan
Moral Dalam Budaya Jawa
Keluarga
jawa pada umumnya mulai mendidik anak-anaknya pada anak tersebut belum lahir,
yaitu dengan cara tidak langsung dari ibunya. Ujud pendidikan itu pada umumnya
melalui berbagai larangan atau keharusan yang harus dijalankan oleh ibu yang
sedang hamil tidak boleh makan-makanan tertentu, tidak boleh mengatakan
kata-kata jelek, tidak boleh membunnuh dantidak boleh marah.[7] Karena
keyakinan dalam budaya orang jawa perilaku ibu pada saat mengandung akan turun
pada anaknya sehingga para ibu yang sedang mengandung sehati-hati mungkin dalam
berbuat supaya anaknya juga mewarisi sifat dari ibunya.
Tidak
dapat disangkal bahwa antara ibu dan anak yang dikandungnya ada hubungan yang
erat sekali. Jika ibu makan-makanan tertentu maka akan berpengaruh pada anak
yang dikandungnya. Bila ibu marah-marah, membunuh binatang berarti ada unsur
marah, begitu juga kalau ibu berkata-kata jelek juga ada unsur marah, maka
perbuatan itu juga akan berpengaruh kepada anak yang dikandungnya.
Bagi
keluarga jawa anak mempunyai kedudukan tersendiri dalam hati mereka
(Sunoto,1989). Ada ucapan jawa mengatakan bahwa anak iku gegntelaning ati, atau
anak itu tempat bergantungnya hati. Ucapan ini bermaksud bahwa anak adalah
pengikat dalam hubungan berkeluarga. Dalam adat jawa jika ada suatu pertemuan
yang ditanyakan adalah yang berkaitan dengan anak mulai dari berapa anaknya,
laki-laki atau perempuan, dimana sekolahnya. Oleh karena itu orang tua
mendambakan seorang anak yang shaleh dan bias membahagiakan orang tuanya.[8]
Ini
sesuai dengan falsafah orang jawa mendhem
jero mikul dhuwur, anak molah bapa kepradhah, yang berarti menimbun yang
dalam dan memikul yang tinggi, anak yang berbuat bapak yang bertanggung jawab.
Sehingga dalam falsafah hidup orang jawa harus mendidik anak supaya anak
mempunyai kepribadian yang baik seperti:[9]
a)
Sikap saling menghormati, ini terlihat pada bahasa keseharian orang jawa
dimana di dalamnya ada undak-unduk basa
(tingkatan bahasa) yang dilakukan antara orang muda dengan orang yang lebih
tua. Dalam falsafah orang jawa sering dikenal dengan among saha miturut, sedulur tuwa iku dadi gegantining wong tuwa.
b)
Sikap dan watak jujur, para orang tua mengajarkan kepada anaknya untuk
berperilaku jujur baik dalam ucapan maupun tindakan.
c)
Sikap adil, anak-anak harus mengetahui hak dan kewajiban masing-masing
dan tahu bagaimana memperlakukan saudaranya dalam segala hal. Tidak boleh
berbuat serakah, murka, ora narima ing pandum atau loba, tamak.
d)
Rukun agawe santosa, sikap saling tolong menolong, gotong royong, dan
tanggung awab harus ditanamkan olejh orang tua kepada anaknya sejak dini supaya
anak dalam menghadapi kehidupanya tidak berlomba-lomba untuk mencari
kebahagiaan pribadi saja akan tetapi juga membawa kebahagiaan bagi lingkungan
sekitarnaya. Seperti dalam falsafah jawa
rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah.
C. Penguatan
Pendidikan Karakter Melalui Budaya Jawa
a. Bahasa dan Sastra Jawa
sebagai Sumber Pendidikan Karakter
Bahasa dan
sastra Jawa sebagai sumber pendidikan karakter setidaknya harus dibawa pada
tiga fungsi pokok bahasa, yaitu (1) alat komunikasi, (2) edukatif, dan (3)
kultural.Fungsi alat komunikasi diarahkan agar siswa dapat menggunakan bahasa
Jawa secara baik dan benar untuk keperluan alat perhubungan dalam keluarga dan
masyarakat. Fungsi edukatif diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai
budaya Jawa untuk keperluan pembentukan kepribadian dan identitas bangsa.Fungsi
kultural agar dapat digali dan ditanamkan kembali nilai-nilai budaya Jawa
sebagai upaya untuk membangun identitas bangsa.[10]
Ketiga fungsi
pokok itu jika dilihat dari substansi nilai, merupakan usaha pengembangan dan
penanaman nilai-nilai moral.Pada fungsi pertama, bahasa sebagai alat komunikasi
yang diarahkan agar siswa dapat berbahasa Jawa dengan baik dan benar,
mengandung nilai hormat atau sopan santun. Seperti diketahui bahwa dalam bahasa
Jawa berlaku penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh, dan dalam
unggah-ungguh itu terkandung nilai-nilai hormat di antara para pembicara, yaitu
orang yang berbicara, orang yang diajak
berbicara , dan orang yang dibicarakan. Sebagai contoh, untuk menyatakan keadaan
sedang makan, jika yang berbicara anak dan yang dibicarakan bapak, menggunakan kalimat
“Bapak, nembe dhahar” (Bapak baru makan), jika yang sedang makan orang yang
berbicara anak, menggunakan kalimat
“Kula saweg nedha” (Saya sedang makan).Penggunaan kata dhahar (makan) merupakan
realisasi dari rasa hormat dari anak kepada orang tua.
Bahasa jawa
membawakan kitab-kitab lama dan baru, memberikan tuntunan moral dan ketuhanan
untuk hidup bermakna dan mendambakan kelepasan jiwa dalam kesempurnaan.[11]
Keadaan
unggah-ungguh bahasa Jawa saat ini, tidak perlu ditakutkan bahwa bahasa Jawa
bertingkat-tingkat. Dalam “Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa” (1991), unggah-ungguh
bahasa Jawa sudah dibakukan, yaitu dibedakan atas dipakai tidaknya kosakata
yang berkadar halus. Kosakata berkadar halus adalah kata yang secara tradsional
diidentifikasi sebagai krama inggil.Atas dasar itu, unggah-ungguh bahasa Jawa
dibedakan atas (1) ngoko, (2) ngoko alus, (3) krama, dan (4) krama
alus.Unggah-ungguh ngoko semua kosakata terdiri dari kosakata ngoko, ngoko alus
kosakatanya ngoko yang di dalamnya terdapat kosakata halus atau krama inggil,
krama semua kosakata terdiri dari kosakata krama, dan krama alus kosakatanya
krama yang di dalamnya terdapat kosakata krama alus atau krama inggil.[12]
Fungsi edukatif
diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai budaya Jawa untuk keperluan
pembentukan kepribadian dan identitas bangsa. Pengajaran unggah-ungguh bahasa
Jawa seperti diuraikan di depan, selain untuk keperluan alat komunikasi juga
dapat mengembangkan fungsi edukatif. Melalui unggah-ungguh basa, siswa dapat
ditanamkan nilai-nilai sopan santun. Upaya yang lain adalah melalui berbagai
karya sastra Jawa. Sastra wayang misalnya, selain berfungsi sebagai tontonan
(pertunjukan) juga berfungsi sebagai tuntunan (pendidikan).Melalui sastra
wayang, para siswa dapat ditanamkan nilai-nilai etika, estetika, sekaligus
logika.Ungkapan tradisonal Jawa juga banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa
untuk kepentingan pendidikan. Semboyan pendidikan nasional kita “Ing ngarso
sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri Handayani” juga berasal dari
ungkapan tradisional Jawa. Pendek kata, dalam khasanah bahasa dan sastra Jawa
banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa yang dapat berfungsi untuk
mengembangkan fungsi edukatif, yaitu fungsi untuk pembentukan kepribadian.[13]
Fungsi kultural
diarahkan untuk menggali dan menanamkan kembali nilai-nilai budaya Jawa sebagai
upaya untuk membangun identitas bangsa. Jika fungsi sebagai alat komunikasi dan
edukatif telah terlaksana dengan baik, sebenarnya fungsi kultural akan
tercapai, karena fungsi kultural sesungguhnya terkait langsung dengan kedua
fungsi itu. Melalui fungsi alat komunikasi dan edukatif, diharapkan telah
ditanamkan nilai-nilai kepribadian luhur sebagai bagian dari dari tata nilai
dan budaya Jawa. Jika penanaman nilai-nilai budaya Jawa telah berhasil, maka akan
terbangun kepribadian yang kuat, dan pada akhirnya akan membentuk karakter yang
kuat pula.
Dalam fungsi
yang ketiga ini, fungsi kultural, banyak karya sastra Jawa, baik karya sastra
Jawa lama maupun Jawa baru yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa sekaligus
mengandung nilai-nilai moral, misalnya yang terkenal sekali yaitu Pepali Ki Ageng Sela yaitu pedoman hidup
yang diberikan oleh Ki Ageng Sela, dekat purwodadi Grobogan, Jawa Tengah
seorang keturunan Majapahit yang Hidup sebagai petani dan Menurunkan Panembahan
Senopati pendidri mataram yang didalamnya berisikan 32 nasehat seperti dalam
bait pertama jangan tinggi hati, jangan sombong, jangan jahil, jangan serakah,
jangan panjang tangan, jangan gila pujian dll.[14]
Selanjutnya,
masih banyak karya sastra Jawa yang mengandung nilai-nilai moral sebagai bahan
implementasi pendidikan karakter, misalnya Serat Sasana Sastra yang disusun
oleh Ki Yasawidagda dan Ki Hadiwijana, Serat Gita Wicara yang ditulis oleh Ki
Hadiwijana, Arjunasasrabahu yang ditulis oleh R. Ng, Sundisastro, Serat
Sanasunu yang ditulis oleh R. Ng. Yasadipura II, Serat Trilaksita yang ditulis
oleh M. Ng. Mangun Wijaya, dan lain-lain. Jika kita sulit mencari bukunya, kita
dapat mengunduh (download) pada internet melalui google dengan cara mengetik
kata-kata kunci, misalnya Serat Sasana Sastra, maka akan muncul apa yang kita
cari.
b. Kearifan Lokal dan
Pendidikan Berkearifan Lokal
Kearifan lokal
adalah kebijaksanaan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan suatu
masyarakat. Kearifan lokal merepresentasikan sebuah nilai kebudayaan masyarakat
yang menaungi keseluruhan kompleksitas norma dan perilaku yang dijunjung tinggi
serta menjadi sebuah “belief”. Kearifan lokal dalam kenyataan sehari-hari dapat
ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, kesusasteraan, dan
naskah-naskah kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Unsur revitalisasi
kearifan lokal dalam merespon lingkungan adalah melalui penguatan masyarakat
berbasis inisiatif-inisiatif lokal.Ciri dasar kearifan lokal adalah adanya
kepedulian sesama manusia dan alam semesta.
Kebudayaan jawa
membawakan adab, pendidikan, pengajaran, kesenian kesusastraan yang penuh
ajaran moral, filsafat yang mengandung pemikiran dan cita-cita kebijaksanaan hidup sampai pada
kebatinan/tasawuf mendekati tuhan yang
maha pencipta, kesemuanya memiliki arti sepanjang masa.[15]
Kearifan lokal
perlu diintegrasikan dalam gerakan social dan kebudayaan masyarakat. Dengan
gerakan semacam ini, akan mampu membawa kesadaran dalam hati nurani masyarakat
luas dalam menghadapi persoalan perspektif pendidikan, Upaya pengembangan
pemberdayaan potensi lokal yang dilakukan antara lain (a) Pengembangan
sumberdaya kelembagaan budaya dan pendidikan melalui optimalisasi dan
peningkatan kemampuan pendidikan dan latihan pengenalan karakter berbasis
kearifan lokal/inisiatif-inisiatif lokal.(b) Pengembangan sumberdaya
kelembagaan budaya dan pendidikan lewat pengadaan program pendidikan dan
latihan pengendalian dan pengelolaan pendidikan karakter berbasis kearifan
lokal/inisiatif-inisiatif lokal. (c) Secara akademis perlu pengembangan tenaga
perancang dan peneliti dalam berbagai bidang yang secara lintas disiplin mampu
menyelesaikan persoalan pendidikan karakter dengan pendekatan yang berbasis
kearifan lokal/inisiatif-inisiatif lokal.
Model pendidikan
berbasis kearifan lokal adalah model pendidikan yang memiliki relevansi tinggi
bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) dengan bertumpu pada
pemberdayaan keterampilan dan potensi kebudayaan lokal di masing-masing
daerah.Dalam model pendidikan ini, materi pembelajaran memiliki makna dan
relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup siswa secara nyata, berdasarkan
realitas yang dihadapi.Kurikulum yang disiapkan adalah kurikulum yang sesuai
dengan kondisi lingkungan dan kebudayaan siswa.,minat, dan kondisi psikis
peserta didik, Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang
mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret kebudayaan
dihadapi siswa. [16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan
budi pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik.
Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai moral merupakan
nilai tertinggi, yang memiliki ciri-ciri (1) berkaitan dengan pribadi manusia
yang bertanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan
manusia secara absulut yang tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal.
Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena
berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Nilai moral terdiri dari
ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan
peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Nilai moral yang
terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa yang berwujud tata nilai kehidupan
Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong
royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan
lainnya dapat digunakan sebagai sumber pendidikan karakter.
Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang
digali dari sumber bahasa dan sastra Jawa dapat dimulai dari kalangan
pendidikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dan pengembangan kultur
sekolah. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung
melalui proses meaning making (membuat bermakna), sehingga akan terjadi internalisasi
nilai-nilai dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan
dengan cara memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai
kultural bahasa dan sastra Jawa.
Daftar Pustaka
Astianto,
Heniy, Filsafat jawa, (Warta Pustaka,
Yogyakarta: 2006)
Elmubarok,
Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai,
(Bandung: CV. Alfabeta, 2008)
Jurnal Transformasi Nilai –Nilai Luhur Sastra Jawa
Klasik Sebagai Pengembang “Content” Pendididikan Karakter Berkearifan Lokal Di
Sekolah oleh DR. Arif Budi Wurianto hal, 6
Megawangi, Ratna, Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan
Holistik Berbasis Karakter, www.usm.maine.edu.com
dalam google.2008
Pemerintah Propinsi daerah Istimewa
Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal
Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga.
Raharja, Puja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam
(Ikatan Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995)
Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam
Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
[1] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung:
CV. Alfabeta, 2008), hal. 102
[2] Ratna Megawangi, Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik
Berbasis Karakter, www.usm.maine.edu.com dalam google.2008.hal
1
[3] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam
Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 19-20.
[5] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai…, hal.
110-111.
[6] Andi
Agustan Arifin, “Matinya Eksistensi
Pendidikan”, www.tribuntimur.com. Dalam yahoo.com.,
2010, hal. 1.
[7]
Heniy Astianto, Filsafat jawa, (Warta Pustaka, Yogyakarta: 2006) hal 13
[8]
Ibid, hal 39
[9]
Ibid, hal39-50
[10]
Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal
Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olah Raga.
[11]
Puja Raharja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam (Ikatan
Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995)
hal. 195
[12]
Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal
Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olah Raga.
[13]
Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal
Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olah Raga.
[14]
Selengkapnya baca Puja Raharja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam
( Ikatan Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995)
hal. 111-115
[15]
Puja Raharja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam (Ikatan
Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995)
hal. 195
[16]
Jurnal Transformasi Nilai –Nilai Luhur Sastra Jawa Klasik Sebagai Pengembang
“Content” Pendididikan Karakter Berkearifan Lokal Di Sekolah oleh DR. Arif Budi
Wurianto hal, 6
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus